Show Up

Minggu, 26 Desember 2010

“Opini Masih Bebas?” # 1


Lepasnya Indonesia dari era orde baru pada tahun 1998 yang kemudian berganti menjadi era demokrasi, sekaligus memberikan angin segar kepada dunia pers Indonesia. Ruang gerak pers yang dahulu terbatas dan terjepit oleh kekuasaan, kini bisa bebas menggeliatkan sendi-sendi jurnalisme yang telah lama terkubur. Pers menjadi salah satu pilar terpenting yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah negara demokratis. Namun kebebasan pers yang berada di Negara demokratis seperti Indonesia haruslah kebebasan yang bertanggung jawab. Dengan kata lain, kebebasan yang dimilikinya tersebut dalam menyiarkan informasi atau memberitakan suatu fenomena haruslah didasari dengan sumber yang kuat dan valid. Hal itu agar pemberitaan yang disiarkan nantinya tidak memunculkan efek negatif.
Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu, jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Disamping itu, masyarakat juga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar. Sehingga ketika pers memberitakan suatu kebohongan, maka masyarakat yang merasa dirugikan berhak menuntut kebenarannya. Bahkan tentang hal tersebut juga telah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik di Indonesia mengenai Hak Jawab yang dimiliki masyarakat dan Hak Tolak yang dimiliki pers.
Meski demikian, pers bukan berarti kebal terhadap hukum. Pers dalam hal ini juga mempunyai kedudukan yang sama dengan warga negara biasa, termasuk wartawan yang berkecimpung di dalamnya. Asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Perangkat undang-undang tentang pers tersebut bukan dibuat untuk mengekang kebebasan insan pers, namun justru untuk membentuk pers yang seimbang, transparan, dan profesional (dikutip dari makalah Frans Hendra Winarta, 2005).
Menurut Frans Hendra Winarta, permasalah pers akan muncul jika pemberitaan pers digunakan untuk memfitnah atau menghina pihak lain. Selain itu, pemberitaannya tidak mempunyai nilai berita (news), terdapat unsur kesengajaan (opzet), dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Permasalahan itulah yang kini melilit Reffly Harun mengenai artikel yang ditulisnya di dalam harian Kompas edisi 25 Oktober 2010 lalu.
Jika dikaitkan dengan UU 1945 yang telah diamandemen pada pasal 28 tentang kebebasan mengemukakan pendapat dan berpikir yang telah diuraikan diatas, tentu kasus yang melilit Reffly Harun ini seharusnya tidak terjadi. Dalam artikel yang berjudul “MK Masih Bersih?”, Reffly hanyalah sebagai warga negara yang menjalankan haknya untuk mengeluarkan pendapatnya dan berbicara di media massa. Dalam hal ini, media massa memang diperuntukkan sebagai ruang publik yang bebas dan netral dimana semua warga negara bisa mengeluarkan “uneg-unegnya”. Sehingga artikel Reffly tersebut sudah berada pada tempat yang benar, yaitu kolom “Opini”. Sehingga pernyataan Reffy ini tidak bisa dikaitkan dengan permasalah pers yang telah diuraikan didepan.
Kenyataanya sekarang, opini Reffly malah menimbulkan kontroversi dan tuntutan-tuntutan dari berbagai pihak yang terkait di dalam tulisannya. Pada salah satu media massa bahkan ada yang mengatakan bahwa tulisan Reffly tersebut tidak berdasar dan subyektif. Kalau ditelaah lebih mendalam, bukankah istilah “pendapat” memang identik dengan subyektifitas individu? Jika unsur subyektifitas dihilangkan, maka tulisan tersebut bukan lagi sebuah “pendapat” dan tidak lagi berada pada kolom “Opini”.
Dalam beropini memang tetap harus ada dasar yang kuat sebagai landasan berpikir. Dengan kata lain, setiap orang yang akan berpendapat atau beropini jangan hanya “asal bicara”, termasuk Reffly. Sebagai salah satu praktisi hukum, dia tidak akan berani berpendapat selantang itu jika tidak mempunyai dasar yang cukup kuat. Namun disisi lain, dia juga harus berani bertanggung jawab atas kelantangannya tersebut. Dalam kasus ini, Reffly ditantang untuk membuktikan kebenaran pendapatnya tentang mafia hukum dalam tubuh Mahkamah Konstitusi oleh Mahfud MD.

Wruter: Farhanah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar