Show Up

Minggu, 26 Desember 2010

Mempertanyakan Perilaku Profesional dan Tanggung Jawab Pers #1


Kebebasan pers Indonesia selalu menjadi isu perbincangan masyarakat. Setelah pers terkekang dan tidak bisa bergerak dalam mencari dan menyiarkan berita pada masa orde baru, kini pers sudah bisa bernafas lega. Seiring dengan perubahan Indonesia menjadi negara demokrasi, maka sistem pers juga menjadi lebih bebas dan terbuka. Kebebasan pers ini menjadi penting di negara yang menganut sistem demokrasi karena pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Sehingga sebuah negara tidak bisa dikatakan menganut demokrasi jika akses informasi dan komunikasi kepada masyarakatnya masih disumbat.
Pers di negara demokrasi tidak hanya menjadi media informasi, tetapi juga media koreksi. Sehingga kebebasan pers sudah sepatutnya dijamin dalam menjalankan profesi kewartawanannya. Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu, jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Kebebasan ini memunculkan permasalahan ketika pers menggunakan kebebasannya itu untuk menyiarkan informasi bohong dan fitnah. Dalam hal ini, pers bukan berarti kebal terhadap hukum. Pers juga mempunyai kedudukan yang sama dengan warga negara biasa, termasuk wartawan yang berkecimpung di dalamnya. Asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1). Perangkat undang-undang tentang pers tersebut bukan dibuat untuk mengekang kebebasan insan pers, namun justru untuk membentuk pers yang seimbang, transparan, dan profesional (dikutip dari makalah Frans Hendra Winarta, 2005).
Menurut Frans Hendra Winarta, permasalah pers akan muncul jika pemberitaan pers digunakan untuk memfitnah atau menghina pihak lain. Selain itu, pemberitaannya tidak mempunyai nilai berita (news), terdapat unsur kesengajaan (opzet), dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Untuk itu, kebebasan pers yang dimaksud disini juga harus diiringi dengan profesionalitas dan pertanggungjawaban. Namun permasalahan muncul lagi karena pers di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan hal itu. Oleh karena itu, perlu adanya tata aturan resmi yang mengatur agar profesionalitas dan pertanggungjawaban pers terhadap informasi yang disiarkannya tetap terjaga.
Pemberitaan harian Kompas pada tanggal 1 Desember lalu bisa menjadi cermin bagi para wartawan agar lebih profesional dalam bertugas. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa ada pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan profesi yang dilakukan beberapa wartawan dari berbagai media nasional, termasuk wartawan dari Kompas itu sendiri. Mereka terbukti bersalah karena telah menggunakan profesi dan jaringannya sebagai wartawan untuk mendapat saham perdana PT Krakatau Steel. Menurut Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, tindakan tersebut menimbulkan konflik kepentingan karena sebagai wartawan yang meliput kegiatan di Bursa Efek Indonesia juga berusaha terlibat dalam proses jual-beli saham untuk kepentingan pribadi, hal mana bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik.
Dalam Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menegaskan jurnalis harus menjaga objektivitas dengan menghindari keberpihakan terhadap salah satu pihak atau golongan, melindungi sumber, dan menghindari korupsi, sogok dan atau menerima suap. Meskipun dalam kasus ini dewan pers belum menemukan indikasi adanya tindakan suap. Namun perbuatan para wartawan beberapa media tersebut sudah jelas menggunakan profesinya untuk kepentingan pribadi. Sehingga Dewan Pers memberikan vonis “salah” terhadap tindakan para wartawan tesebut.
Tujuh dosa media menurut Paul Johnson adalah (1) distorsi informasi, (2) dramatisasi fakta palsu, (3) mengganggu privasi, (4) pembunuhan karakter (character assassination), (5) eksploitasi seks, (6) meracuni benak pikiran anak-anak dan (7) penyalahgunaan kekuasaan. Diantara 7 poin tersebut dengan jelas kasus perilaku para wartawan yang terlibat dalam proses jual-beli saham termasuk dalam poin ketujuh, yaitu penyalahgunaan kekuasaan. Artinya, para wartawan tersebut telah memanfaatkan profesi dan jaringannya sebagai wartawan untuk mendapatkan saham perdana PT Krakatau Steel.
Kasus tindakan tidak profesional yang dilakukan beberapa wartawan tersebut memang belum ada dasar hukum resmi yang mengatur dan memberikan sanksi. Namun hal tersebut dengan jelas diatur dalam tata etika dan perilaku wartawan yang terangkum dalam Kode Etik Jurnalistik. Hal itu karena keterlibatan dan kecenderungan wartawan dengan satu pihak, maka akan mempengaruhi nilai objektifitas berita yang dibuatnya. Sehingga sudah sepantasnya wartawan yang melakukan tindakan tidak profesional seperti itu diberikan sanksi atas kesadaran dan tanggung jawab media yang menaunginya.

Writer: Farhanah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar