Show Up

Minggu, 07 November 2010

Little Story of "Es Batu Balok" In Your Drink # 2

 Cuaca siang itu seketika berubah mendung. Lagi-lagi terjadi gerimis di Kota Malang. Untungnya tidak hujan deras seperti kemarin. Sejuknya udara membuai sebagian orang ke dunia mimpi di siang hari, namun sebagian lainnya ada juga yang tidak bisa menikmatinya.

    Di kawasan Betek, pada pinggiran sebuah kali yang banyak dilalui warga kota Malang ketika keluar dari daerah Soekarno-Hatta, berdirilah sebuah bangunan yang sudah terlihat tua. Bangunan tersebut berada tepat di tikungan setelah jembatan. Sepintas, tidak terlihat bangunan tua tersebut adalah sebuah pabrik karena di bantaran kali tumbuh subur pepohonan bambu dan belukar yang menutupi bagian belakang pabrik. Tidak ada identitas atau plang nama yang menandakan bangunan itu adalah sebuah pabrik es batu. Namun dari depan ketika kita akan ke arah alun-alun, akan terlihat pabrik tua yang dibangun sekitar tahun 1974 dengan adanya mobil-mobil truk dan pick up berwarna biru doger berbaris rapi menghiasi pekarangan pabrik.
Sementara itu, sebuah truk akan keluar dari halaman pabrik. Truk itu mengangkut banyak sekali es batu balok. Sebelum keluar dari pekarangan pabrik, sang sopir yang brewokan menyempatkan bercanda dan berteriak-teriak menggunakan bahasa daerah Jawa dengan para pekerja lain. Para pekerja melayani bercandaannya sambil memasukan es batu balok ke truk yang lainnya. Tidak seberapa lama, truk itupun melaju dengan mengangkut sangat banyak es batu balok.
Setelah itu, para pekerja masih sibuk memasukan es batu balok ke dalam box belakang truk yang lain. Sebelum dimasukkan es balok, truk tersebut sudah dilapisi terpal. Walaupun sibuk, mereka bekerja dengan santai sambil bercanda-canda dengan para pekerja yang lain. Ada yang mengatur jalannya mesin yang memproduksi es batu. Ada yang bertugas menyeret es batu dari lantai kayu ke lantai ubin. Ada yang mendorong es batu dari lantai ubin ke mesin derek yang mengangkat es batu. Ada yang bertugas memasukan es batu dari mesin derek ke dalam truk. Ada pula yang menyusun es-es tersebut sambil berdiri di atas es atau duduk dipinggiran box truk dengan kedua kakinya berada di atas es batu. Kaki dan tangan mereka terlihat tidak mempan lagi dengan dinginnya es batu balok yang mereka produksi.
Akhirnya, es batu balok pun selesai dimasukan ke dalam box truk. Truk ditutup dengan terpal berwarna coklat. Truk siap berangkat. Ketika dikonfirmasi kepada salah satu pekerja pabrik yang terlihat lebih ramah dari yang lain bernama Mas Sugih, diketahuilah kemana es-es tersebut akan diangkut. Ternyata es batu tersebut akan diangkut menuju Porong, Sidoarjo.
“Mau dibawa ke Porong. Buat ikan dan buat minum orang-orang disana. Disana kan banyak pengungsi,” jawab pekerja pabrik itu dengan santai.
Sebelum truk pertama berangkat, satu buah mobil pick up berwarna biru doger memasuki area pabrik. Para pekerja langsung memasukan es batu balokan yang terlihat kotor ke peti-peti di box mobil. Namun para pekerja terlebih dahulu memotong-motong es batu menjadi beberapa potongan sebelum dimasukkan ke dalam peti-peti tersebut. Setelah itu, mobil pick up pun berangkat membawa es batu entah kemana. Sementara itu, truk kedua yang sudah penuh dengan muatan es batu balok telah terlebih dahulu meninggalkan pabrik.

Beberapa menit kemudian, seorang ibu dengan mengendarai motor bebek bermerk Honda Kharisma memasuki halaman pabrik dan menemui para pekerja yang sedang santai bercakap-cakap di bale-bale di dalam pos pekerja.
“Mas, saya pesen lima ribu ya! Tapi saya tinggal dulu. Setengah lima saya ambil.”
“Iya Bu.”
Saya menyaksikan begitu banyak orang yang menyuplai es batu balokan dari pabrik yang bernama Kharisma itu. Hal tersebut menggelitik minat saya untuk bertanya lebih lanjut kepada pekerja yang bernama Sugih tersebut. Berikut sebagian hasil percakapan yang berhasil dilakukan.
“Mas, boleh tau ngga berapa sih harga es batu satunya?”
“Kalo eceran satu baloknya dua belas ribu.”
“Berapa liter air Mas biasanya dalam satu balok es?”
“ Kalo satu balok biasanya sekitar 20 liter air.”
“Dikirim kemana aja biasanya?”
“Ke Lawang, Kepanjen, Pasuruan, sampai Sidoarjo.”
“Biasanya yang beli untuk keperluan apa aja Mas?”
“Ikan dan minuman.”
“Kalo proses pembuatanya Mas tahu ngga?”
“Ngga tau saya Mbak, saya ngurusin mesin.”
Tidak seberapa lama setelah percakapan itu, sebuah mobil Kijang Jantan berwarna merah tua berhenti di pinggir jalan depan pabrik es batu balok. Seorang pemuda memakai blankon keluar dari mobil yang juga dipenuhi para pemuda yang semuanya berpakaian ala Jawa. Maklumlah, minggu itu adalah musimnya “Malang Kembali” atau “Malang Tempoe Doeloe”. Dimana banyak masyarakat memakai pakaian tempo dulu untuk mengunjungi acara yang diadakan Pemkot Malang satu kali tiap tahunnya.
“Mas, ada es batunya?” tanya pemuda yang turun dari dalam mobil.
“Habis Mas, setengah lima baru ada.”
“Ooo, ya sudah setengah lima aja nanti saya kesini lagi.”
Kemudian sang pemuda langsung menyampaikan hal tersebut kepada rekannya yang berada di dalam mobil. Pemuda itu masuk ke dalam mobil. Mobil pun melaju meninggalkan pabrik.

***

Dua jam sudah saya berada di pabrik es batu balok itu. Lama sekali menunggu pimpinan pabrik es batu balok itu. Sibuk, sibuk, dan sibuk itulah alasan yang diberikan para pekerja pabrik tentang bos mereka. Kebenaran pastinya tidak ada yang tahu. Di bale-bale dalam pos, para pekerja yang berjumlah sekitar empat orang masih duduk-duduk santai sambil menunggu jam produksi berikutnya.
Pelan-pelan saya coba mengakrabkan diri dengan para pekerja agar mereka mau angkat bicara. Akhirnya, pekerja bernama Sugih lagi yang mau bercerita mengenai proses produksinya, itupun hanya secara singkat. Dia mengatakan bahwa air berasal dari “sumber” sumur bor yang disaring menggunakan arang. Apakah bisa sumur hidup dibantaran kali seperti pada pabrik itu? Fakta yang terjadi kalaupun sumur itu bisa hidup didekat sumber air lain, pasti airnya akan dipengaruhi air pada sumber didekatnya. Faktanya lagi, sumber air yang berdampingan dengan pabrik adalah sungai yang airnya keruh dan kotor.
Ditengah penjelasan Mas Sugih tentang proses penyaringan, seorang pekerja lain nyeletuk, “lalu dicampur kaporit.” Tetapi dengan sedikit terbata-bata, Mas Sugih segera membantah celetukan itu dengan menekankan bahwa air hanya disaring dan dijernihkan menggunakan arang. Sekali lagi ia menekankan hanya arang saja.
Lelaki yang sudah lima tahun bekerja di pabrik itupun melanjutkan penjelasannya bahwa air yang sudah disaring lalu dicetak dan direndam di dalam air garam. Proses selanjutnya diserahkan pada mesin atau kompresor yang dijalankan menggunakan amoniak. Pada proses itu air akan dibekukan pada suhu 9 sampai 10 derajat celcius.
Hari sudah semakin sore. Penyelidikan pada hari itu sepertinya belum bisa dilanjutkan karena es baru akan diproduksi lagi keesokan harinya. Cuaca sudah semakin mendung. Pabrik juga terlihat sudah sepi pelanggan. Parapekerja terlihat asyik bersenda gurau dengan sesama pekerja di atas bale-bale di dalam pos. Saya pun memutuskan untuk berpamitan dan kembali lagi keesokan harinya untuk melihat proses produksinya.

Report & Writer by: Farhanah
Photo by:  Farhanah

2 komentar:

  1. hmm....kasih solusi jg dunk han.. trs gmn ma kita2 yg ska mngkonsumsi es batu..ky d jus gt...

    BalasHapus
  2. Untuk sekitaran wilayah kos, menurut penelusuran ku. rata2 memakai es balok.
    klo emang pengen banget minum yang dingin2, cara antisipasinya ya...
    1. beli minum ga pake es batu. Trus,es batunya bikin sendiri aja.
    - Klo ga ada kulkas bagi yang ngekos, beli es batu rumahan aja. setidaknya kadar kumannya lebih sedikit.
    - Atau esnya jangan dikeluarin dari plastik, trus langsung cemplungin ke dalam gelas minuman. jadi esnya ga bercampur dg minuman, tp tetap dingin.
    2. Siapkan pertahanan tubuh dg memperkuat sistem imun.
    3. Minum obat cacing rutin 1x dalam 6 bulan.
    hehehe...

    BalasHapus