Show Up

Rabu, 27 Oktober 2010

Dari Prita Mulyasari hingga Luna Maya # I

        Secara umum, dalam berberapa kasus privasi juga tidak lepas dari topeng media dan etika penyiaran dari media itu sendiri. Media memposisikan diri dalam lingkungan audience dan tujuannya sangatlah tidak lepas dari komersialisasi media.

Agar mempermudah pemahaman tentang hak privasi individu dalam etika komunikasi, kasus yang terjadi pada Prita Mulyasari dan Luna Maya beberapa waktu lalu bisa dijadikan contoh konkrit dan gamblang. Pada dua kasus yang berbeda tersebut sebenarnya mempuyai gambaran yang sama dimana privasi menjadi permasalahan yang sangat rancu. Dua kasus itu menampakan betapa tidak dihargainya privasi yang dimiliki individu dan betapa media tidak mengerti tentang penghargaan terhadap privasi.
Prita Mulyasari yang merupakan ibu rumah tangga dan wanita karier biasa bisa terjerat kasus hukum atas tuduhan pencemaran nama baik dan juga tuduhan penyalahgunaan ITE oleh RS. OMNI Internasional. Padahal yang ia lakukan hanyalah mengeluhkan kepada beberapa temannya lewat e-mail (surat elektronik) tentang ketidakpuasan atas pelayanan RS. OMNI ketika ia sakit. Surat elektronik sebenarnya berperan seperti surat pada umumnya yang hanya untuk konsumsi atau diketahui oleh orang yang menjadi tujuan surat. Namun entah kenapa, surat yang merupakan hak pribadi tersebut bisa beredar di internet dan dikonsumsi publik hingga diketahui oleh RS. OMNI yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Dari situ, hak privasi Prita sebagai individu telah dilanggar oleh media, yang dalam hal ini adalah media on line. Dalam menanggapi kasus ini, media-media lain, seperti media cetak dan elektronik gencar memberitakannya. Dimana mereka menyuarakan tuntutan keadilan terhadap masyarakat kecil sebagai konsumen media dan mendeskreditkan RS. OMNI. Sehingga konstruksi masyarakatpun terbentuk bahwa Prita benar dan OMNI salah. Padahal disadari oleh masyarakat, jika ada yang patut disalahkan, maka media on line yang dalam kasus ini patut dipersalahkan karena telah menyebarkan privasi sesorang. Namun kita kembali lagi harus menyelami, bahwa media tidak akan bisa bergerak tanpa ada yang meggerakkan. Jadi yang seharusnya patut diselidiki adalah “siapa yang telah menyebarkan surat pribadi tersebut tanpa seizin si penulis surat?”
Namun sayangnya, tidak ada satu media pun yang memberitakan hingga ke akar. Panasnya pemberitaan mengenai kasus tersebut dari daun hingga batang dianggap lebih sensasional disajikan untuk masyarakat. Sehingga mereka berlomba menyajikan tontonan seru antara Prita dan RS. OMNI untuk masyarakat. Layaknya sebuah pertandingan bulutangkis antara Indonesia dan Cina yang saling serang dengan smash yang mematikan, masyarakat Indonesia tentu saja memihak bangsanya yang dianggap senasib dan sepenanggungan. Berpegang dengan keberpihakan masyarakat sebagai audience media, tentu saja media akan menyajikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Tidak mungkin ia memihak RS. OMNI yang tidak lain adalah musuh bersama masyarakat. Namun kembali lagi, yang menentukan konstruksi pikiran masyarakat yang mana kawan dan yang mana lawan masyarakat pada kasus ini awalnya juga media massa.
Dalam membentuk konstruksi simpatik masyarakat bahwa Prita berada pada posisi masyarakat kecil yang perlu dibela, media kembali lagi menyeberangi batas privasi individu yang menjadi objek pemberitaanya. Kehidupan keseharian Prita bersama suami dan kedua orang anaknya dirumah diangkat oleh media sebagai penggambaran bahwa kehidupan Prita sama seperti masyarakat biasa. Padahal kalau dipikir ulang, tidak ada hubungan antara kasus hukum yang dijalaninya dengan keluarganya. Memang secara tidak langsung ada korelasi secara psikologis karena ikatan keluarga, namun apakah dengan pemberitaan tersebut perasaan keluarga malah tidak bertambah sedih?
Tentu saja hal itu tidak menjadi permasalah bagi media karena tujuannya tetap satu, menyajikan tontonan yang menarik bagi masyarakat hingga mendatangkan iklan yang banyak. Sebaliknya, RS. OMNI Internasional dikonstruksikan dengan kemegahan dan eksklusifitasnya. Hal tersebut tentu saja untuk menggiring pemikiran negatif masyarakat tentang RS. OMNI dan memosisikannya sebagai pihak yang patut disalahkan. Hal itu karena dalam konstruksi pemikran masyarakat sudah tertanam bahwa sebuah kemegahan dan eksklusifitas selalu ideal dengan kesombongan, keangkuhan, dan kekuasaan.
Sebenarnya Prita dan RS. OMNI tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar, namun diantara kedua kubu tersebut harus ada yang dikambinghitamkan agar tontonan semakin seru. Padahal, jika ada yang perlu disalahkan, media lah yang salah. Namun dalam kasus ini, media memosisikan dirinya dimata masyarakat sebagai malaikat penyelamat. Dapat kita lihat pada kasus ini, media dengan pemberitaannya bahkan berhasil menggerakkan masyarakat dengan mengumpulkan koin-koin kepedulian masyarakat dengan tajuk “Koin Peduli Prita”. Masyarakat tidak lagi duduk diam dan menonton dari kejauhan, tetapi ikut melakukan aksi sesuai instruksi dari media. Betapa berhasilnya media massa dalam mempengaruhi audience dengan berita yang memanfaatkan privasi individu.
Dalam kasus Prita Mulyasari tersebut, media menggiring pemikiran masyarakat bahwa tuntutan yang dilakukan RS. OMNI dengan UU pencemaran nama baik dan ITE adalah tidak tepat penggunannya. Namun apa yang terjadi pada kasus Luna Maya? Media malah menuntut Luna Maya dengan UU ITE (informasi teknologi elektronik) ketika Luna Maya mengeluarkan uneg-unegnya tentang media yang melanggar privasinya. Kekesalannya itu ia ungkapkan dalam sebuah situs jejaring sosial yang tentu saja bisa dikonsumsi oleh banyak orang dari berbagai penjuru dunia dengan statement “Infotainment derajatnya lebih hina dari pada pelacur, pembunuh. May ur soul burn in hell”.
Tidak ada yang salah dengan pernyataan yang dikeluarkan Luna Maya karena semua orang bebas mengeluarkan pendapat dan berbicara di era demokrasi ini. Kebebasan berbicara dan berpendapat ini juga sudah diatur dalam undang-undang di negara kita, Indonesia. Negara kita juga sudah mengatur tentang kebebasan pers dalam peliputan dan menjalankan profesinya. Namun sebuah kebebasan harus juga memperhatikan kepentingan orang lain karena kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Ada kebebasan orang lain juga yang harus kita perhatikan sehingga sikap toleransi itu perlu dalam menjalankan kebebasan kita. Oleh karena itu, kebebasan yang kita rasakan juga harus diikuti dengan tanggung jawab. Dengan kata lain, kebebasan yang kita jalankan adalah kebebasan yang bertanggung jawab. 
Aliansi Jurnalis Indenpenden (AJI) Kota Bandung, Agus Rakasiwi, menilai pernyataan artis Luna Maya dalam situs jejaring sosial merupakan sebuah kritik yang wajar. Namun pemilihan kata Luna Maya kurang elok sehingga dia terjerat UU ITE. Namun pertanyaannya, apa yang dilakukan infotainment kepada Luna Maya sehingga dia berbuat seperti itu? Luna Maya tidak sepantasnya mendapat dampak dari apa yang sebenarnya dia katakan sebagai bentuk kekesalan pada pekerja gosip. Apa yang dia lakukan hanyalah bentuk “uneg-uneg” dari kerugian yang dia terima dari pekerja infotainment.

Writer: Farhanah
Photo by: 4rdysama.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar